Minggu, 09 Desember 2012

Laskar Pelangi





 










SD Muhammadiyah tampak begitu rapuh dan menyedihkan dibandingkan dengan sekolah-sekolah PN Timah (Perusahaan Negara Timah). Mereka tersudut dalam ironi yang sangat besar karena kemiskinannya justru berada di tengah-tengah gemah ripah kekayaan PN Timah yang mengeksploitasi tanah ulayat mereka.

Kesulitan terus menerus membayangi sekolah kampung itu. Sekolah yang dibangun atas jiwa ikhlas dan kepeloporan dua orang guru, seorang kepala sekolah yang sudah tua, Bapak Harfan Efendy Noor dan ibu guru muda, Ibu Muslimah Hafsari, yang juga sangat miskin, berusaha mempertahankan semangat besar pendidikan dengan terseok-seok. Sekolah yang nyaris dibubarkan oleh pengawas sekolah Depdikbud Sumsel karena kekurangan murid itu, terselamatkan berkat seorang anak idiot yang sepanjang masa bersekolah tak pernah mendapatkan rapor.

Sekolah yang dihidupi lewat uluran tangan para donatur di komunitas marjinal itu begitu miskin: gedung sekolah bobrok, ruang kelas beralas tanah, beratap bolong-bolong, berbangku seadanya, jika malam dipakai untuk menyimpan ternak, bahkan kapur tulis sekalipun terasa mahal bagi sekolah yang hanya mampu menggaji guru dan kepala sekolahnya dengan sekian kilo beras, sehingga para guru itu terpaksa menafkahi keluarganya dengan cara lain. Sang kepala sekolah mencangkul sebidang kebun dan sang ibu guru menerima jahitan.

Kendati demikian, keajaiban seakan terjadi setiap hari di sekolah yang dari jauh tampak seperti bangunan yang akan roboh. Semuanya terjadi karena sejak hari pertama kelas satu sang kepala sekolah dan sang ibu guru muda yang hanya berijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri) telah berhasil mengambil hati sebelas anak-anak kecil miskin itu.

Dari waktu ke waktu mereka berdua bahu membahu membesarkan hati kesebelas anak-anak tadi agar percaya diri, berani berkompetisi, agar menghargai dan menempatkan pendidikan sebagai hal yang sangat penting dalam hidup ini. Mereka mengajari kesebelas muridnya agar tegar, tekun, tak mudah menyerah, dan gagah berani menghadapi kesulitan sebesar apapun. Kedua guru itu juga merupakan guru yang ulung sehingga menghasilkan seorang murid yang sangat pintar dan mereka mampu mengasah bakat beberapa murid lainnya. Pak Harfan dan Bu Mus juga mengajarkan cinta sesama dan mereka amat menyayangi kesebelas muridnya. Kedua guru miskin itu memberi julukan kesebelas murid itu sebagai para Laskar Pelangi.

Keajaiban terjadi ketika sekolah Muhamaddiyah, dipimpin oleh salah satu laskar pelangi mampu menjuarai karnaval mengalahkan sekolah PN dan keajaiban mencapai puncaknya ketika tiga orang anak anggota laskar pelangi (Ikal, Lintang, dan Sahara) berhasil menjuarai lomba cerdas tangkas mengalahkan sekolah-sekolah PN dan sekolah-sekolah negeri. Suatu prestasi yang puluhan tahun selalu digondol sekolah-sekolah PN.

Tak ayal, kejadian yang paling menyedihkan melanda sekolah Muhamaddiyah ketika Lintang, siswa paling jenius anggota laskar pelangi itu harus berhenti sekolah padahal cuma tinggal satu triwulan menyelesaikan SMP. Ia harus berhenti karena ia anak laki-laki tertua yang harus menghidupi keluarga, sebab ketika itu ayahnya meninggal dunia.

Belitong kembali dilanda ironi yang besar karena seorang anak jenius harus keluar sekolah karena alasan biaya dan nafkah keluarga justru disekelilingnya PN Timah menjadi semakin kaya raya dengan mengekploitasi tanah leluhurnya.

Meskipun awal tahun 90-an sekolah Muhamaddiyah itu akhirnya ditutup karena sama sekali sudah tidak bisa membiayai diri sendiri, tapi semangat, integritas, keluruhan budi, dan ketekunan yang diajarkan Pak Harfan dan Bu Muslimah tetap hidup dalam hati para laskar pelangi. Akhirnya kedua guru itu bisa berbangga karena diantara sebelas orang anggota laskar pelangi sekarang ada yang menjadi wakil rakyat, ada yang menjadi research and development manager di salah satu perusahaan multi nasional paling penting di negeri ini, ada yang mendapatkan bea siswa international kemudian melakukan research di University de Paris, Sorbonne dan lulus S2 dengan predikat with distinction dari sebuah universitas terkemuka di Inggris.

Semua itu, buah dari pendidikan akhlak dan kecintaan intelektual yang ditanamkan oleh Bu Mus dan Pak Harfan. Kedua orang hebat yang mungkin bahkan belum pernah keluar dari pulau mereka sendiri di ujung paling Selatan Sumatera sana.

Laskar Pelangi





 










SD Muhammadiyah tampak begitu rapuh dan menyedihkan dibandingkan dengan sekolah-sekolah PN Timah (Perusahaan Negara Timah). Mereka tersudut dalam ironi yang sangat besar karena kemiskinannya justru berada di tengah-tengah gemah ripah kekayaan PN Timah yang mengeksploitasi tanah ulayat mereka.

Kesulitan terus menerus membayangi sekolah kampung itu. Sekolah yang dibangun atas jiwa ikhlas dan kepeloporan dua orang guru, seorang kepala sekolah yang sudah tua, Bapak Harfan Efendy Noor dan ibu guru muda, Ibu Muslimah Hafsari, yang juga sangat miskin, berusaha mempertahankan semangat besar pendidikan dengan terseok-seok. Sekolah yang nyaris dibubarkan oleh pengawas sekolah Depdikbud Sumsel karena kekurangan murid itu, terselamatkan berkat seorang anak idiot yang sepanjang masa bersekolah tak pernah mendapatkan rapor.

Sekolah yang dihidupi lewat uluran tangan para donatur di komunitas marjinal itu begitu miskin: gedung sekolah bobrok, ruang kelas beralas tanah, beratap bolong-bolong, berbangku seadanya, jika malam dipakai untuk menyimpan ternak, bahkan kapur tulis sekalipun terasa mahal bagi sekolah yang hanya mampu menggaji guru dan kepala sekolahnya dengan sekian kilo beras, sehingga para guru itu terpaksa menafkahi keluarganya dengan cara lain. Sang kepala sekolah mencangkul sebidang kebun dan sang ibu guru menerima jahitan.

Kendati demikian, keajaiban seakan terjadi setiap hari di sekolah yang dari jauh tampak seperti bangunan yang akan roboh. Semuanya terjadi karena sejak hari pertama kelas satu sang kepala sekolah dan sang ibu guru muda yang hanya berijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri) telah berhasil mengambil hati sebelas anak-anak kecil miskin itu.

Dari waktu ke waktu mereka berdua bahu membahu membesarkan hati kesebelas anak-anak tadi agar percaya diri, berani berkompetisi, agar menghargai dan menempatkan pendidikan sebagai hal yang sangat penting dalam hidup ini. Mereka mengajari kesebelas muridnya agar tegar, tekun, tak mudah menyerah, dan gagah berani menghadapi kesulitan sebesar apapun. Kedua guru itu juga merupakan guru yang ulung sehingga menghasilkan seorang murid yang sangat pintar dan mereka mampu mengasah bakat beberapa murid lainnya. Pak Harfan dan Bu Mus juga mengajarkan cinta sesama dan mereka amat menyayangi kesebelas muridnya. Kedua guru miskin itu memberi julukan kesebelas murid itu sebagai para Laskar Pelangi.

Keajaiban terjadi ketika sekolah Muhamaddiyah, dipimpin oleh salah satu laskar pelangi mampu menjuarai karnaval mengalahkan sekolah PN dan keajaiban mencapai puncaknya ketika tiga orang anak anggota laskar pelangi (Ikal, Lintang, dan Sahara) berhasil menjuarai lomba cerdas tangkas mengalahkan sekolah-sekolah PN dan sekolah-sekolah negeri. Suatu prestasi yang puluhan tahun selalu digondol sekolah-sekolah PN.

Tak ayal, kejadian yang paling menyedihkan melanda sekolah Muhamaddiyah ketika Lintang, siswa paling jenius anggota laskar pelangi itu harus berhenti sekolah padahal cuma tinggal satu triwulan menyelesaikan SMP. Ia harus berhenti karena ia anak laki-laki tertua yang harus menghidupi keluarga, sebab ketika itu ayahnya meninggal dunia.

Belitong kembali dilanda ironi yang besar karena seorang anak jenius harus keluar sekolah karena alasan biaya dan nafkah keluarga justru disekelilingnya PN Timah menjadi semakin kaya raya dengan mengekploitasi tanah leluhurnya.

Meskipun awal tahun 90-an sekolah Muhamaddiyah itu akhirnya ditutup karena sama sekali sudah tidak bisa membiayai diri sendiri, tapi semangat, integritas, keluruhan budi, dan ketekunan yang diajarkan Pak Harfan dan Bu Muslimah tetap hidup dalam hati para laskar pelangi. Akhirnya kedua guru itu bisa berbangga karena diantara sebelas orang anggota laskar pelangi sekarang ada yang menjadi wakil rakyat, ada yang menjadi research and development manager di salah satu perusahaan multi nasional paling penting di negeri ini, ada yang mendapatkan bea siswa international kemudian melakukan research di University de Paris, Sorbonne dan lulus S2 dengan predikat with distinction dari sebuah universitas terkemuka di Inggris.

Semua itu, buah dari pendidikan akhlak dan kecintaan intelektual yang ditanamkan oleh Bu Mus dan Pak Harfan. Kedua orang hebat yang mungkin bahkan belum pernah keluar dari pulau mereka sendiri di ujung paling Selatan Sumatera sana.

OSIS 11-12

\
 

Inilah FOTO diriku saat diriku mencalonkan diri sebagai ketua OSIS : 
Masa juang 2011-2012

Kamis, 06 Desember 2012

pesasntren dongkrak semangat nasionalisme




PESANTREN DONGKRAK SEMANGAT NASIONALISME

            Dalam kontek’s kewarganagaraan, kita mempunyai tanggung jawab untuk menumbuhkan rasa nasionalisme pada negeri tercinta ini, bukan waktunya kita bertanya-tanya lagi dan bukan waktunya pula kita tidak tahu menahu tentang hal ini, sudah saat saatnya kita menyadari bahwa sifat nasionalisme di negeri pertiwi ini sudah semakin minim, bukan siapa-siapa lagi yang ingin membuat sifat nasionalisme semakin menggelora pada golongan masyarakat, semunya harus dimulai dari diri kita masing-masing, hanya kesadaran yang mampu merubah itu semua.
            Ada bebrapa elemen strategis, bagaimna caranya sifat nasionalisme bisa tumbuh dan berkembang di masyarakat, yaitu melalui elemen-elemen religius yang ada di negeri ini, sebut saja seperti pesantren, pesantren merupakan tempat yang paling efisien untuk mengukuhkan semangat nasionalisme, sebab disana terdapat metode pengajaran yang besifat intelektua, emosional, dan spritual. Tidak seperti institusi lain yang hanya berpacu terhadap intelektual semata.
            Butuh waktu cukup lama, untuk menunbuhkan semangat nasionalisme dalam ruang lingkup pesantren, bukan hanya itu, cara beradaptasi dalam dunia pesantren juga memakan waktu yang lumaya lama, sehingga hal itu semua mempersendat tumbuhnya semangat nasionalisme kepada masing-masing individu. Semuanya butuh proses, dengan kesabaran dan keteguhan hati nurani tidak menutup kemungkinan semangat nasionalisme akan tumbuh dengan sendirinya. Dan sangat berpeluang untuk pesantren untuk menciptakan kader-kader muda berbakat yang pada akhirnya akan mempin negeri ini dengan sejuta warna.
            Dunia pesantren tidak lepas dari sistem aturan yang disiplin, baik itu dari segi agama umum dan sebagainya, tujuan tidak ada lain adalah untuk menumbuhkan rasa disiplin terhadap setiap santrinya, sudah jelas sekali sistem aturan yang diterapkan di pesantren kepada seluruh santrinya akan dapat dilihat hasilnya pada suatu saat nanti.
            Kedikdayaan pesantren tidak hanya sampai disitu, untuk menjaga identitasnya pesantren harus benar-benar di survei khusus oleh pemerintah negara, terlebih setelah ada statment negatif tentang pesantren yang muncul di permukaan, yaitu: “pesantren sarang terorisme” dari statment ini kita jangan langsung meng_claim bahwa setiap pesantren akan menghasilkan bidikan teroris kelas atas,  tidak semua pesantren yang dapat menghasilkan seperti itu semua, solidaritas pendidikan di pondok pesantren memang mempunyai tensi tinggi, disana pusat keagamaan memenag di gembleng khusus seperti jihad ataupun Fisabilillah, tapi perlu digaris bawahi bahwa ilmu yang mempelajari tantang jihad tidak semerrta-merta mencetak gembong teroris, tapi semata-mata hanya untuk mengetahui bagaiamana berjuang dijalan allah dengan baik.
            Kembali pada kontek permsalahan awal, diman semangat nasionalisme bisa tumbuh dan berkembang dalam ruang lingkup pesantren, semunaya melalui proses mulai dari penerapan cinta negara, sampai kepada cinta tanah air, dari sinilah semangat nasionalisme bisa tumbuh dan berkeembang di dunia pesantren, seperti apa yang disampaikan oleh mantan president kita: Jusuff Kalla, “pesantren harus benar-benar memiliki pantauna khusus, senan dari sinilah segi negatif ataupun negatif bisa timbul dari lembaga ini. Dari uraian tersebut, kita sedikit mengontak antik dari kalimat perkalimat, intinya adalah dunia pesantren sangat familiar, sarang terorisme berakar dari pesantren atau sebaliknya banyak orang hebat dari segi positif juga berawal dari pondok pesantren.
            Semunaya telah sirna, nasionalisme seakan ditelan ombak yang semakin menggelora, beberapa cara untuk membangkitkan semangat nasionalisme disetiap kalangan sudahy mulai di expose dengan sendirinya. Sampai pada akhirnya, pesantren menjadi jalan yang sangat pragmatis untuk memompa itu semua, dengan idiologi klasik pesantren mampu bersaing dengan institusi lain baik itu Universitas, sekolah negeri maupun yang lainnya. Dalam aspek kehidupan, pesantren bukan lagi institusi asing yang berkecipung di masyarakat indonesia,. Malah sebaliknya pesantren adalah tempat menimba pendidikan yang paling rasional untuk warga negara yang beragama islami, dapat disimpulkan bahwa nasionalisme akan semakin girang jika yang menegelola adalah sebuah institusi pondok pesantren.

tanah kita tanah surga



“TANAH KITA TANAH SURGA” KATANYA....!

                Simulasi tentang negara indonesia yang subur dan makmur dan kaya akan rempah-rempah atau kekayaan alam, semuannya sirna dalam sekejab, ketika masalah tentang negeri ini kembali melanda rakyat jelata, seperti masalah tentang pangan, budaya yang dirampas atau nahkan baru-baru ini tentang wilayah perbatasan, semua itu selalu menjadi perbincangan disetiap elemen kehidupan. Saat semuanya msih terfokuskan terhadap budaya nilai politik dalam negeri, ada segelintir saudara kita yang masih membutuhkan yang lebih layak. Mereka masih perlu uluran tangan kita khususnya perhatian dari pemerintah, sehingga mereka tidak menjadikan negara tetangga kita sebagai tulang punggungnya.
            Sungguh ironis, ketika melihat saudara kita hidup berdampingan dengan negara tetangga, dan lebih memprihatinkan lagi ketika mereka tidak memperoleh jangkauan khusus dari petinggi negara kita, apakah memang pemerintah ingin melihat warga negara kita berganti kewarganegaraan ? sangat tidak masuk akal ketika saudara kita yang hidup di kepulauan “sebatik” daerah yang langsung berdempean dengan dengan negara tetangga kita yaitu malaysia, menjadikan negara tetangga sebagai alat rekonstruksi khusus untuk membuat hidupnya lebih sejahtera.
            Seakan hati menangis, sesama warga negara kita harus mampu mempunyai sikap prihatin kepada warga negara yang hidup disana, terlebih kepada mereka yang masih belum tahu terhadap arti merdeka. Lagu kabangsaan dan bahkan bendera kebangsaan kita mereka beluum tahu, lalu apa peran pemerintah menangani hal itu semua ? dana 4’5 M lebih untuk daerahy perbatasan, semuanya hilang entah kemana, lalu apakah memang  seperti ini yang disebut negara demokrasi ?
            Seiring dengan berjalannya waktu,  negara kita yang termasuk negara berkembang seakan tidak bisa menoleh terhadap rakyat yang jauh dari kota atau bisa disebut daerah pedalaman, warga negara yang tinggal disana khususnya di wilayah perbatasan, seakan merasakan sedihnya anak tiri sebagai warga negara NKRI.
            Sudah 67 tahun kita merdeka, 6 pemimpin di negeri ini sudah kita lewati, lalu kenapa rakyat tidak sejahtera ? malah sebaliknya rakyat semakin merana, diatas jalur politik yang semakin hari semakin merajalela, pemerintah seharusnya mempunyai andil besar terhadap warga negaranya, faktanya pemerintah malah semakin menjauh, dengan kata lain pemerintah lepas tanggung jawab terhadap warga negara yang jauh atau sulit dijangkuan. TANAH SYURGA yang dulunya digembo-gemborkan terhadap negeri ini, ternyata hanya tinggal taplak semata, orang miskin semakin tidak bisa makan, samudera biru meluap ke permukaan, hijaupun terbakar

UN



UN, MEMBAWA DAMPAK PADA PEMBODOHAN BANGSA

                   Mencermati dan memperhatikan pendidikan di Indonesia, timbulnya suatu permasalahan nasional, terutama menyangkut standar kelulusan siswa baik yang masuk SMP, SMA maupun perguruan Tinggi dan lain-lain, kelulusan siswa tidak ditentukan oleh guru yang memantau dan mendidik serta membimbing dan membina anak didik selama 3 tahun dalam proses belajar dan mengajar, tetapi cukup di tentukan oleh standar Ujian Nasional yang lebih di kenal dengan UN dengan 4 materi pelajaran, sesuatu hal yang tidak logis, untuk menilai seseorang mampu dan tidak mampu, hanya dari satu aspek, sedangkan Intelektual yang bermoral merupakan proses yang di amati dan di nilai oleh orang yang membimbing, orang yang memebina di sini peran guru di kebirikan,. Sesuai UU NO.20 tahun 2003, tentang  sistem pendidikan Nasional Bab XVI pasal 57 ayat (2) evaluasi di lakukan kepada peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan informal untuk semua jenjang, satuan dan jenis pendidikan, sedangkan pasal 58 ayat (1) evaluasi hasil belajar peserta didik di lakukan oleh peserta didik di lakukan oleh pendidik untuk memantau kemampuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan dan pasal 1 ayat (17) standar Nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah NKRI.
                 Disinilah permasalahan pendidikan di Indonesia yang memunculkan beberapa pertanyaan terhadap ke lulusan siswa antara lain: Kelulusan hanya di tentukan oleh 4 materi Ujian Nasional, sedangkan, materi lain dan keaktifan serta intelektual lainnya tidak di nilai, akan memunculkan materi lain di anggap tidak perlu, sedangkan materi lain tersebut merupakan faktor penting dalam menumbuhkembangkan Intelektualitas yang bermoral dalam mencapai tujuan pendidikan Nasional sebagaimana amanat pembukaan UUD 1945;  sesuai pasal 57 ayat satu dan pasal 1 ayat (17) sudahkah di lakukan pemantauan tehadap kelayakan proses pendidikan untuk mengacu standar Nasional pendidikan, hasil akhir bermuara kepada peserta didik terutama menyangkut standar kebutuhan minimal secara komprehensif di pengaruhi oleh faktor internal dan eskternal lembaga pendidikan tersebut antara lain: Sarana dan prasarana pendidikan,             Pendidikan, Penerimaan arus Informasi dan buku, Lingkungan pendidikan, Peran serata masyarakat, Dan lain-lain.
                 Sesuai pasal 58 ayat (1) UU NO.20 tahun 2003 yang mengevaluasi dan memantau proses intelektual anak didik adalah pendidik, jelas konstribusi dan peran guru dalam penentuan kelulusan anak didik sangat penting dan besar, karena sang pahlawan tanpa tanda jasa ini yang melihat, mendidik membina mental dan intelektual anak didik selama berada di lembaga pendidikan terkesan di kebirikan. pasal 35 ayat (1) dalam penjelasan “kompetensi kelulusan adalah merupakan kualifikasi kemampuan kelulusan yang mencangkup sikap, pengetahuan dan keterampilan”, di sini jelas bahwa kelulusan tidak bisa di tentukan oleh 4 materi ujian Nasional, karena sikap, kemampuan dan keterampilan yang hanya di ketahui oleh pendidik/guru tidak di nilai oleh ujian Nasional, kembali lagi peran pendidik di kebirikan. Pasal 37 materi Wajib yang harus di akomodir dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah memuat pendidikan agama, PKN, Bahasa, Matematika, Ipa, Seni dan budaya penjas, Ketrampilan dan jasa, Muatan local, kata “wajib” merupakan suatu bentuk yang wajib di ajarkan kepada anak didik, konsekuensinya materi tersebut menjadi indikator sebuah kelulusan anak didik, kenyataan hanya 4 materi yang menjadi indikator kelulusan Nasional,. Bahwa kondisi bangunan sekolah dan pendidikan Nasioanal di Indonesia belum bisa di standarisasikan, karena bangunan yang sudah tidak layak, kinerja guru perlu di tingkatkan, konsekuensi motivasi guru sebagai pendidik perlu di tingkatkan baik gaji atau tunjangan, pendidikan, saran dll, geografis dan budaya, arus informasi dll. Sehingga standarisasi harusnya melalui perlakuan dan penilaian yang sama dalam semua aspek, kenyataan aspek-aspek belum standar, sehingga standar Nasional belum bisa di laksanakan, namun pihak diknas melalui proses harus melengkapi semua persyaratan yang di amanatkan oleh UU, baik sarana maupun prasarana serta kententuan oprasional serta proses sosialisasi. Kenyataan dan fakta tersebut, bahwa ujian Nasioanl bertentangan dengan UU NO.20 tahun 2003, yang membawa dampak pada pembodohan bangsa, dan bertentangan dengan amanat pembukaan UUD 1945. Berdasarkan UU NO.14 tahun 2005, tentang guru dan dosen yang menyetakan bahwa salah satu hak guru dan dosen memiliki kebebasan dalam memberiakan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, jelas dalam UU ini, yang memberiakan penilaian objectif terhadap kelulusan anak didik adalah guru. Sedangkan UN peran guru tidak ada, ini menyatakan bahwa UN bertentangan UU NO.14 tahun 2005, dimana pemerintah dalam hal ini kementrian DIKNAS penginterpensi lembaga pendidikan atau mengambil hak pedagogis sang pahlawan tanpa tanda jasa. Profesi guru, dalam penyelenggaraan UN tidak di hargai sebagai suatu tugas mulia untuk mencerdaskan bangsa. Kalau kita lihat fakta yang factual, justru kota-kota dengan standar minimal telah terpenuhi baik sarana dan prasarana, pendidik, arus informasi yang banyak menderita akibat Ujian Nasional, pertanyaannya sadarkah bapak Menteri Pendidikan Nasioanal dan Jajarannya, dengan kondisi ini?
              Dampak lain, siswa yang berasal dari ekonomi kurang mampu dan lulus dengan standar Nasional, namun belum bisa melanjutkan kependidikan lebih tinggi, karena NEM yang belum memenuhi standar penerimaan di sekolah yang lebih tinggi, tidak bisa melanjutkan, tetapi siswa yang berasal dari ekonomi mampu bisa melanjutkan ke sekolah lain terutama swasta dengan biaya tinggi, di samping itu, bagaimana dengan siswa yang belum bisa di tampung pada seleksi PSB dan SPMB tahun 2011-2012, sekolah swasta dengan biaya tinggi, tentunya menjadi permasalahan, bukan karena tidak mampu secara akademis, tetapi sistem yang di buat membuat mereka tidak mampu, bahkan banyak siswa yang telah di nyatakan lulus jalur PMDK, dan beasiswa keluar Negeri tetapi tidak lulus UN, kenyataan ini indikasi memperkuat “bahwa orang miskin di larang pintar”.