Kamis, 06 Desember 2012

menyucikan diri dari fitrah ilahi



MENYUCIKAN DIRI, DARI FITRAH ILLAHI

            Dalam satu titik, kita dituntut untuk menjadi santri yang ber karakter, tapi disisi lain kita punya beban untuk menaggung fitrah manusia, saat beban itu mengalami sodoran yang tak henti-henti, sehingga menyebabkan kita terasa liar di pertengahan kehidupan, saat itu pula beban itu semakin berat untuk kita pertimbangkan, di satu sudut hal itu memang memberikan beban bagi kita, tapi di sudut yang lain, hal semacam itu dapat memberikan tanggung jawab terhadap kemandirian.
             Ketika fitrah manusia sudah tidak dapat dibendung dikalangan santri pondok pesantren, tidak jarang hali itu dapat memberikan mudarat atau kerugian yang sering membelunggu dalam asah kehidupan, sesungguhnya fitrah ilahi bisa sja datang pada siapa saja, tap hanya saja, ada sebagian orang yang mampu meredam datangnya hal itu, sebab sebagian orang itu kemampuan IQ, SQ, dan EQ_nya sudah dapat dipertanggung jawabkan, perlu cermin khusus untuk memayoritasi santri agar dapat meredam datangnya hal tersebut dan kolaborasikanlah dengan introspeksi diri, selain hal tersebut kita juga harus pintar-piuntar “lempar batu sembunyi tangan” maksudnya adalah atur waktu dengan skema yang penuh dengan warna kehidupan, usahakan hal yang baik dilakukan oleh kita dilaksanakan  tampa sepengetahuan orang lain dengan tujuan memperminim arus gossip Riya’ yang ditujukan pada kita.
            Mungkin mencegah datangnya fitrah ilahi diruang lingkup pesantren  sulit bagi kita untuk melakukannya, tap kalau kita bermaksud meminimalisir kita mungkin bisa untuk melakukannya tapi dengan catatan tidak harus ada yang tersakiti dari pernuatan tersebut, saat budaya asing atau yang sering dikenal budaya berpacaran, saat itu pula berbagai elemen-elemen yang berbaur-baur di pondok pesantren berlomba-lomba untuk meminimalisir datangnya hal tersebut, sungguh mengenaskan ketika budaya tersebut menjamur di ruang lingkup pesantren, ketika santri sedang terfokus kepada masa depan masing-masing dan Cuma dengan adanya ini semuanya sirna dalam sekejap mata,dan tidak menutup kemungkinan pula moral santri yang terjaring hal semacam itu moralnya mengalami dekadensi.
            Seminar yang diselenggarakan langsung di pondok pesantren darul ihsan, yang diisi langsung oleh: K H Zainur Rahman pengasuh pondok pesantren Al-mukri prenduan, dengan tema “dekadensi moralitas santri di lingkup pesantren” beliau berasumsi bahwa, salah satu penyebab terjadinya dekadensi moral di ruang lingkup pesantren, ialah dengan adanya arus global sehingga tidak jarang santri menjadikan figure yang kurang baik bagi dirinya, dari penyataan tersebut, kita sejenak membuka mata kita dengan apa yang sedang terjadi sekarang, budaya ini telah membuat kita semua menggeleng-geleng kepala atas semua apa yang terjadi, tapi bagi setiap insan manusia mencegah datangnya budaya tersebut tidak mungkin sekali, karena semua itu sudah menjadi fitrah sang ilahi.
            Di dalam krisis moral tentu tidak lain sumbernya adalah krisis identitas diri, “tuhan telah mati” teriak Nietszche, dan itu artinya menurut taufiq el hakim “manusiapun telah mati” kematian diri” ummat manusia yang terjadi pada saat ini tidak lain adalah kian tercerabutnya akar-akar manusia dari sumbernya, mula mula dan dari asal muasalnya, dalam bahasa HanskunG itulah yang sering disebut dengan “krisis identitas diri” dan apabila manusia telah krisis identitas diri maka tidak jarang perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari norma agama kerap terjadi khususnya di wilayah pesantren, ibarat musafir: kemampuan kita berjalan di muka bumi ini fakta-fakta tentang keagungan allah, bertebaran diseluruh penjuru sebagai petunjuk hidup, dank arena hidup seperti berada di dalam belantara masalah tampa usai, kita dalam situasi yang membahayakan jika tidak mampu menemukan arah keluar, sebab kita telah tersesat.
            Secara manual, zona perputaran zaman sungguh telah membuat kita menggenggam kedua tangan kita, hal yang semulanya memberikan sinar bagi kita ternyata semua itu telah membuat kita silau akan datangnya semua hal tersebut, sangat tidak masuk akal ketika zaman yang sedang membelenggu dalam kehidupan ternyata membuka peluang untuk merealisasikan fitrah ilahi keruang tubuh manusia, didalam lembaran sejarah mtreologi yunani, fitrah menjadi catatan penting atas kejadian yang luar biasa yang bahkan terkadang sampai hari ini, tidak hanya itu filem yang menceritakan potret kisah nyata kapal “TITANIC” juga mencangkup sebuah fitrah sesorang sehingga pemeran utama dalam filem tersebut sulit untuk di pisahkan, dapat ditarik sebuah kesimpulan akhir dari kejadian tersebut, ialah fitrah ilahi akan tersa sulit memecahkan  orang yang sudah saling bersatu dengan yang lainnya.
“ aku harus tahu, seberapa jauh aku menguasai diriku “  menurut Dzihelka,.
 Coba kita teliti sejenak kalimat yang tertera diatas, dari bebrapa patah kata yang telah disebutkan diatas adalah, satu dar sekian unsure memproses diri dan yang selalu menjadi pertimbangan besar dari memproses diri yaitu hanya hukum alam, bagaimana mungkin kita memproses diri kalau semua ini bebenturan dengan hokum alam. Kita kembali ke bahasan awal, fitrah yang sudah pasti datang di setiap insan manusia memberikan beberapa kesimpulan akhir yang dapat kita tarik sebuah kesimpulan yang dapat kita jadikan acuan kedepannya yaitu, “kehidupan adalah sebuah sajak, yang berarti bila kita jalani dengan penuh emosi maka kita tidak akan penah tau apa itu hidup yang sebenarny, tapi jika kita jalani hidup ini denga murah hati maka jejak baik bukan tidak mungkin berada di belakang kita” semoga fitrah ilahi tidak membuat kita silau akan kehidupan, tapi sebaliknya semoga dengan membelenggunya fitrah ilahi dapat memberikan penyucian bagi kita atau antivirus bagi kita untuk lebih baik terhadap diri kita untuk selama-lamanya.

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar