MENYUCIKAN DIRI, DARI FITRAH ILLAHI
Dalam
satu titik, kita dituntut untuk menjadi santri yang ber karakter, tapi disisi
lain kita punya beban untuk menaggung fitrah manusia, saat beban itu mengalami
sodoran yang tak henti-henti, sehingga menyebabkan kita terasa liar di
pertengahan kehidupan, saat itu pula beban itu semakin berat untuk kita
pertimbangkan, di satu sudut hal itu memang memberikan beban bagi kita, tapi di
sudut yang lain, hal semacam itu dapat memberikan tanggung jawab terhadap
kemandirian.
Ketika fitrah manusia sudah tidak dapat
dibendung dikalangan santri pondok pesantren, tidak jarang hali itu dapat
memberikan mudarat atau kerugian yang sering membelunggu dalam asah kehidupan,
sesungguhnya fitrah ilahi bisa sja datang pada siapa saja, tap hanya saja, ada
sebagian orang yang mampu meredam datangnya hal itu, sebab sebagian orang itu
kemampuan IQ, SQ, dan EQ_nya sudah dapat dipertanggung jawabkan, perlu cermin
khusus untuk memayoritasi santri agar dapat meredam datangnya hal tersebut dan
kolaborasikanlah dengan introspeksi diri, selain hal tersebut kita juga harus
pintar-piuntar “lempar batu sembunyi tangan” maksudnya adalah atur waktu dengan
skema yang penuh dengan warna kehidupan, usahakan hal yang baik dilakukan oleh
kita dilaksanakan tampa sepengetahuan
orang lain dengan tujuan memperminim arus gossip Riya’ yang ditujukan pada
kita.
Mungkin
mencegah datangnya fitrah ilahi diruang lingkup pesantren sulit bagi kita untuk melakukannya, tap kalau
kita bermaksud meminimalisir kita mungkin bisa untuk melakukannya tapi dengan
catatan tidak harus ada yang tersakiti dari pernuatan tersebut, saat budaya asing
atau yang sering dikenal budaya berpacaran, saat itu pula berbagai
elemen-elemen yang berbaur-baur di pondok pesantren berlomba-lomba untuk
meminimalisir datangnya hal tersebut, sungguh mengenaskan ketika budaya
tersebut menjamur di ruang lingkup pesantren, ketika santri sedang terfokus
kepada masa depan masing-masing dan Cuma dengan adanya ini semuanya sirna dalam
sekejap mata,dan tidak menutup kemungkinan pula moral santri yang terjaring hal
semacam itu moralnya mengalami dekadensi.
Seminar
yang diselenggarakan langsung di pondok pesantren darul ihsan, yang diisi
langsung oleh: K H Zainur Rahman pengasuh pondok pesantren Al-mukri prenduan,
dengan tema “dekadensi moralitas santri di lingkup pesantren” beliau berasumsi
bahwa, salah satu penyebab terjadinya dekadensi moral di ruang lingkup
pesantren, ialah dengan adanya arus global sehingga tidak jarang santri
menjadikan figure yang kurang baik bagi dirinya, dari penyataan tersebut, kita
sejenak membuka mata kita dengan apa yang sedang terjadi sekarang, budaya ini
telah membuat kita semua menggeleng-geleng kepala atas semua apa yang terjadi,
tapi bagi setiap insan manusia mencegah datangnya budaya tersebut tidak mungkin
sekali, karena semua itu sudah menjadi fitrah sang ilahi.
Di
dalam krisis moral tentu tidak lain sumbernya adalah krisis identitas diri, “tuhan
telah mati” teriak Nietszche, dan itu artinya menurut taufiq el hakim “manusiapun
telah mati” “kematian diri” ummat manusia yang terjadi pada saat ini
tidak lain adalah kian tercerabutnya akar-akar manusia dari sumbernya, mula
mula dan dari asal muasalnya, dalam bahasa HanskunG itulah yang sering disebut
dengan “krisis identitas diri” dan apabila manusia telah krisis
identitas diri maka tidak jarang perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari norma
agama kerap terjadi khususnya di wilayah pesantren, ibarat musafir: kemampuan
kita berjalan di muka bumi ini fakta-fakta tentang keagungan allah, bertebaran
diseluruh penjuru sebagai petunjuk hidup, dank arena hidup seperti berada di
dalam belantara masalah tampa usai, kita dalam situasi yang membahayakan jika
tidak mampu menemukan arah keluar, sebab kita telah tersesat.
Secara
manual, zona perputaran zaman sungguh telah membuat kita menggenggam kedua
tangan kita, hal yang semulanya memberikan sinar bagi kita ternyata semua itu
telah membuat kita silau akan datangnya semua hal tersebut, sangat tidak masuk
akal ketika zaman yang sedang membelenggu dalam kehidupan ternyata membuka
peluang untuk merealisasikan fitrah ilahi keruang tubuh manusia, didalam
lembaran sejarah mtreologi yunani, fitrah menjadi catatan penting atas kejadian
yang luar biasa yang bahkan terkadang sampai hari ini, tidak hanya itu filem
yang menceritakan potret kisah nyata kapal “TITANIC” juga mencangkup sebuah
fitrah sesorang sehingga pemeran utama dalam filem tersebut sulit untuk di
pisahkan, dapat ditarik sebuah kesimpulan akhir dari kejadian tersebut, ialah
fitrah ilahi akan tersa sulit memecahkan
orang yang sudah saling bersatu dengan yang lainnya.
“ aku harus tahu, seberapa jauh aku menguasai diriku
“ menurut Dzihelka,.
Coba kita
teliti sejenak kalimat yang tertera diatas, dari bebrapa patah kata yang telah
disebutkan diatas adalah, satu dar sekian unsure memproses diri dan yang selalu
menjadi pertimbangan besar dari memproses diri yaitu hanya hukum alam, bagaimana
mungkin kita memproses diri kalau semua ini bebenturan dengan hokum alam. Kita
kembali ke bahasan awal, fitrah yang sudah pasti datang di setiap insan manusia
memberikan beberapa kesimpulan akhir yang dapat kita tarik sebuah kesimpulan
yang dapat kita jadikan acuan kedepannya yaitu, “kehidupan adalah sebuah
sajak, yang berarti bila kita jalani dengan penuh emosi maka kita tidak akan
penah tau apa itu hidup yang sebenarny, tapi jika kita jalani hidup ini denga
murah hati maka jejak baik bukan tidak mungkin berada di belakang kita” semoga
fitrah ilahi tidak membuat kita silau akan kehidupan, tapi sebaliknya semoga
dengan membelenggunya fitrah ilahi dapat memberikan penyucian bagi kita atau
antivirus bagi kita untuk lebih baik terhadap diri kita untuk selama-lamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar