BERGANDENGAN
TANGAN
MENUJU PALESTINA SEJAHTERA
“Jika saya adalah pemimpin bangsa Arab, saya takkan pernah sudi
berunding dengan Israel. Ini lazim dan sudah semestinya. Bukankah Israel telah
mengambil tanah mereka? Kita ini berada di Israel, tapi dua ribu tahun lalu,
bagi mereka tanah ini apa artinya? Memang, ada gerakan-gerakan anti Yahudi
seperti Nazi dan Auschwitz, tapi apa salahnya bangsa Arab kepada kita?”
Sepenggal kalimat di atas bukan keluar dari mulut seorang Palsetina
atau Arab lainnya, tetapi dari seorang mantan Perdana Menteri Israel pertama,
David Ben Gurion, dan dikutip oleh duo penulis, John Mearsheimer dan Stephen
Walt dalam sebuah artikel “The Israel Lobby and The US Foreign Policy.” Gaza luluh lantak. Setelah tiga pekan
digempur dan dibombardir Israel melalui darat, laut, dan udara, kawasan yang
hanya dihuni 1,5 juta orang itu porak poranda.
Diperkirakan 14 persen dari bangunan-bangunan penting, rata dengan
tanah. Ribuan rumah penduduk, ratusan kendaraan bermotor, berpuluh gedung pemerintah,
rumah sakit, gedung sekolah-perguruan tinggi, dan tempat-tempat ibadah menjadi
puing, yang tak bisa difungsikan lagi. Gaza gelap gulita, karena jaringan
listrik terputus. Masyarakat kesulitan memperoleh air bersih, karena instalasi
air banyak yang rusak. Kerugian material diperkirakan mencapai angka Rp 15
triliun lebih. Jelas bukan hanya kerugian material. Bombardir Israel di Jalur
Gaza juga telah menewaskan kurang lebih 1.300 orang dan 5.000 lainnya terluka.
Televisi Al-Jazeera menyiarkan, kemungkinan jumlah korban akan bertambah,
seiring dengan terus ditemukannya mayat di reruntuhan bangunan.
Kebingungan kaum Muslimin dan masyarakat dunia akan nasib rakyat
Palestina selanjutnya dan kapan konflik mereka dengan pemerintah Israel akan
berakhir adalah pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban memilukan. Kalau dilihat
dari sepak terjang Israel, maka jawabannya adalah sampai seluruh tanah
Palestina habis dikuasai oleh mereka dan sebagian bangsa Palestina yang tersisa
mau menjadi rakyat jajahan, bangsa kelas dua atau bahkan menjadi budak.
Sedangkan bila dilihat dari semangat perjuangan bangsa Palestina melawan Israel,
maka jawabannya adalah sampai titik darah penghabisan dari para pejuang,
mujahid mereka yang membela tanah air dan keberadaan mereka sebagai bangsa
merdeka dan berdaulat di tanah sendiri.
Lalu bagaimana dengan PBB ? organisai yang dulunya didirikan untuk
menciptakan kedamaian dunia, ternyata hanya dapat memberikan pernyataan melalui Dewan Keamanan PBB mengenai
konflik Jalur Gaza, mengatakan itu “kontra-produktif” di tengah upaya intensif
untuk mencapai gencatan senjata, kata para diplomat kepada AFP.
Hamas pun perlu realistis untuk tak meminta kembali ke tahun
sebelum 1948, ketika Negara Israel belum berdiri. Israel tak perlu mewujudkan
cita-citanya mendirikan Negara Yahudi yang membentang dari Sungai Yordan hingga
Laut Mediterania, apalagi Israel Raya yang terhampar dari Sungai Nil hingga
Eufrat. Sebab, ambisi itu hanya akan menimbulkan kesengsaraan bagi warga sipil.
Israel tak bisa mengacu
pada Deklarasi Oslo, yang artinya menepiskan eksistensi Hamas. Hamas bukan
variabel yang mesti dimusnahkan, akan tetapi faktor yang penting diajak
berunding bagi terciptanya perdamaian abadi Palestina-Israel.
Melalui meja perundingan itu, diharapkan
terbit sebuah solusi yang adil untuk para pihak yang bertikai. Jika kelak
ditemukan kerangka dan konsensus baru antara Palestina (termasuk Hamas) dan
Israel tentang pembagian wilayah, maka pasukan internasional perlu dibentuk
dengan mandat khusus dan otoritas mutlak untuk menjaga batas teritorial
tersebut, sehingga perdamaian di kawasan Israel-Palestina bisa berjalan. Ini
memang perkara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar