Rabu, 05 Desember 2012

OPINI EDI


BERGANDENGAN TANGAN
 MENUJU PALESTINA SEJAHTERA

“Jika saya adalah pemimpin bangsa Arab, saya takkan pernah sudi berunding dengan Israel. Ini lazim dan sudah semestinya. Bukankah Israel telah mengambil tanah mereka? Kita ini berada di Israel, tapi dua ribu tahun lalu, bagi mereka tanah ini apa artinya? Memang, ada gerakan-gerakan anti Yahudi seperti Nazi dan Auschwitz, tapi apa salahnya bangsa Arab kepada kita?”

Sepenggal kalimat di atas bukan keluar dari mulut seorang Palsetina atau Arab lainnya, tetapi dari seorang mantan Perdana Menteri Israel pertama, David Ben Gurion, dan dikutip oleh duo penulis, John Mearsheimer dan Stephen Walt dalam sebuah artikel “The Israel Lobby and The US Foreign Policy.”  Gaza luluh lantak. Setelah tiga pekan digempur dan dibombardir Israel melalui darat, laut, dan udara, kawasan yang hanya dihuni 1,5 juta orang itu porak poranda.
Diperkirakan 14 persen dari bangunan-bangunan penting, rata dengan tanah. Ribuan rumah penduduk, ratusan kendaraan bermotor, berpuluh gedung pemerintah, rumah sakit, gedung sekolah-perguruan tinggi, dan tempat-tempat ibadah menjadi puing, yang tak bisa difungsikan lagi. Gaza gelap gulita, karena jaringan listrik terputus. Masyarakat kesulitan memperoleh air bersih, karena instalasi air banyak yang rusak. Kerugian material diperkirakan mencapai angka Rp 15 triliun lebih. Jelas bukan hanya kerugian material. Bombardir Israel di Jalur Gaza juga telah menewaskan kurang lebih 1.300 orang dan 5.000 lainnya terluka. Televisi Al-Jazeera menyiarkan, kemungkinan jumlah korban akan bertambah, seiring dengan terus ditemukannya mayat di reruntuhan bangunan.
Kebingungan kaum Muslimin dan masyarakat dunia akan nasib rakyat Palestina selanjutnya dan kapan konflik mereka dengan pemerintah Israel akan berakhir adalah pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban memilukan. Kalau dilihat dari sepak terjang Israel, maka jawabannya adalah sampai seluruh tanah Palestina habis dikuasai oleh mereka dan sebagian bangsa Palestina yang tersisa mau menjadi rakyat jajahan, bangsa kelas dua atau bahkan menjadi budak. Sedangkan bila dilihat dari semangat perjuangan bangsa Palestina melawan Israel, maka jawabannya adalah sampai titik darah penghabisan dari para pejuang, mujahid mereka yang membela tanah air dan keberadaan mereka sebagai bangsa merdeka dan berdaulat di tanah sendiri.
Lalu bagaimana dengan PBB ? organisai yang dulunya didirikan untuk menciptakan kedamaian dunia, ternyata hanya dapat memberikan  pernyataan melalui Dewan Keamanan PBB mengenai konflik Jalur Gaza, mengatakan itu “kontra-produktif” di tengah upaya intensif untuk mencapai gencatan senjata, kata para diplomat kepada AFP.
Hamas pun perlu realistis untuk tak meminta kembali ke tahun sebelum 1948, ketika Negara Israel belum berdiri. Israel tak perlu mewujudkan cita-citanya mendirikan Negara Yahudi yang membentang dari Sungai Yordan hingga Laut Mediterania, apalagi Israel Raya yang terhampar dari Sungai Nil hingga Eufrat. Sebab, ambisi itu hanya akan menimbulkan kesengsaraan bagi warga sipil.
    Israel tak bisa mengacu pada Deklarasi Oslo, yang artinya menepiskan eksistensi Hamas. Hamas bukan variabel yang mesti dimusnahkan, akan tetapi faktor yang penting diajak berunding bagi terciptanya perdamaian abadi Palestina-Israel.
    Melalui meja perundingan itu, diharapkan terbit sebuah solusi yang adil untuk para pihak yang bertikai. Jika kelak ditemukan kerangka dan konsensus baru antara Palestina (termasuk Hamas) dan Israel tentang pembagian wilayah, maka pasukan internasional perlu dibentuk dengan mandat khusus dan otoritas mutlak untuk menjaga batas teritorial tersebut, sehingga perdamaian di kawasan Israel-Palestina bisa berjalan. Ini memang perkara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar