PNS, SUMBER MASALAH DI NEGERI INI
Rasanya setiap orang tahu bahwa Pegawai Negeri Sipil
(PNS) identik dengan birokrasi yang berbelit-belit, lambat dalam menyelesaikan
pekerjaan, menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, sigap
mencari amplop dan sabetan, datang ke kantor paling akhir tapi pulang paling awal,
dan sering keluyuran saat jam kerja.
Di tengah lapangan pekerjaan yang begitu terbatas,
fasilitas yang ditawarkan kepada PNS sepintas bisa dibilang sangat menggiurkan.
Tak perlu kerja ngoyo tapi gaji dan tunjangan lumayan, jam kerja pendek dan
susah diberhentikan. Makanya tak heran bila setiap kali dibuka penerimaan PNS,
peminatnya selalu membludak. Tak jarang yang sampai rela memberikan sogokan.
This is (probably) the best job ever.
Tahukah Anda bahwa pegawai Departemen Pendidikan Nasional
(selain guru) jumlahnya lebih dari 200 ribu orang? Tahukah Anda bahwa pegawai
Departemen Agama jumlahnnya sekitar 180 ribu orang? Pemda DKI saja
mempekerjakan lebih dari 90 ribu orang pegawai—-sama dengan jumlah karyawan
Microsoft di seluruh dunia. Apa betul kita membutuhkan birokrat sebanyak itu?
Bandingkan dengan instansi lain. Hanya dengan 52 ribu
orang karyawan se-Indonesia, PLN bisa mengaliri listrik wilayah Indonesia 24
jam setiap hari. Hanya dengan karyawan 26 ribu orang, surat menyurat
se-Indonesia sudah bisa tertangani PT Pos Indonesia. Bandingkan dengan karyawan
PT Telkom yang hanya 30 ribu orang atau Pertamina yang hanya 20 ribu orang di
seantero Indonesia.
Dengan pegawai Depdiknas non-guru sebanyak itu, ongkos
pendidikan juga tak menjadi lebih murah. Metro TV melaporkan bahwa biaya
pendidikan SD/MI rata-rata Rp 130 ribu per bulan dan SMP/MTs rata-rata Rp 175
ribu per bulan. Ongkos sebesar itu tentu tak mampu dijangkau sebagian besar
penduduk yang masih di garis kemiskinan. Maka tak heran bila penduduk Indonesia
jumlahnya 211 juta jiwa namun mereka yang masih buta huruf mencapai 15 juta
jiwa.
Dengan pegawai Depdiknas non-guru sebanyak itu, nyatanya
data menunjukkan bahwa 50% SD dan MI serta 18% SMP dan MTs di seluruh Indonesia
dalam keadaan rusak. Di wilayah DKI saja, 2.552 sekolah rusak ringan dan 452
sekolah rusak parah. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi sekolah di pedalaman
Kalimantan atau Papua.
Dengan pegawai Depag sebanyak itu, penyelesaian kasus
sengketa aliran sesat membutuhkan waktu yang sangat lama. Dengan pegawai Depag
sebanyak itu, faktanya ongkos naik haji juga tak menjadi lebih murah. Beberapa
waktu lalu sejumlah calon jemaah haji melakukan demo karena kuotanya dicabut.
Tentu masih hangat dalam ingatan bagaimana kasus catering jemaah haji beberapa
waktu lalu yang sangat memalukan.
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Keuangan, anggaran tahun
2009 untuk Depdiknas mencapai Rp 51 triliun—-terbesar di antara departemen
teknis lainnya. Sementara anggaran untuk Depag mencapai Rp 20 triliun—-sedikit
di bawah kepolisian (Rp 25 triliun), namun di atas Departemen Kesehatan (19
triliun), Departemen Perhubungan (Rp 16 triliun), dan Departemen Keuangan (Rp
15 triliun).
Selama ini anggaran tersebut memang disusun berdasar
input, bukan output. Perhitungan belanja pegawai dan perlengkapannya masih
didasarkan pada jumlah pegawai. Akibatnya, makin lama anggaran yang
dialokasikan ikut-ikutan membesar. Sejak tahun 2004 memang telah dikenalkan
pendekatan output yang berbasis kinerja—-namun realita dan praktik di lapangan
masih belum seperti yang diharapkan.
Saat ini, baik Depag maupun Depdiknas menduduki peringkat
atas lembaga terkorup selain Kejaksaan dan Kepolisian. Maka, salahkah kalau
kita berpendapat bahwa rakyat sesungguhnya membayar para birokrat dengan
terlalu boros?
Sebagian besar PNS di negeri ini pendidikannya SMA (35%)
sementara yang Sarjana hanya 28,9%. Lebih menyedihkan lagi, PNS bergelar S2 dan
S3 hanya 2,5% dan 0,2% saja. Artinya, selain jumlahnya besar, kualitasnya pun
masih perlu dipertanyakan. Terlebih lagi, ongkos yang dikeluarkan untuk
menggaji mereka begitu mahal—-lebih dari Rp 100 triliun per tahun.
Andaikata saya adalah pemerintah, maka birokrasi yang
efisien adalah prioritas pertama saya. Selama ini permasalahan tersebut tidak
pernah mendapat sorotan yang memadai dan hanya menjadi wacana. Agar tak hanya
jadi sekedar polemik, kebijakan tersebut harus di-lock dengan konstitusi.
Memang tidak ada jaminan presiden selanjutnya akan meneruskan program ini,
namun setidaknya program ini bisa lebih menggigit. Memang tidak ada jaminan
program ini akan berhasil 100%, namun setidaknya rakyat bisa menilai dengan
lebih proporsional.
Kita bukan negara yang kaya sehingga uang yang ada harus
dibelanjakan dengan ketat dan tepat. Selain itu, untuk menjadi negara yang
lebih baik, pegawainya juga harus kompeten dan tidak korup. Dan salah satu
jalan yang paling logis adalah efisiensi birokrasi.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar