PEMERINTAH
GALAU
PENDIDIKAN
TERBENGKALAI
(Mencoba menyiasati kinerja pemerintah dalam bidang pendidikan di
negeri pertiwi)
Beberapa waktu lalu, dunia pendidikan kita dihebohkan dengan
ditemukannya lembar kerja siswa (LKS) untuk murid kelas II sekolah dasar (SD)
yang memuat cerita Si Angkri. Dalam waktu hampir bersamaan, ditemukan kembali
LKS bermasalah yang memuat cerita istri simpanan di bawah judul “Bang Maman
dari Kalipasir” yang beredar di SD Angkasa Halim IX, Jakarta Timur. Bayangkan,
anak-anak usia 8 tahunan sudah dikenalkan dengan golok sebagai simbol kekerasan
dan seks. Sungguh tidak etis. Bahkan, sangat kontraproduktif dalam pembangunan
karakter anak-anak didik yang saat ini nyaring didengungkan Presiden SBY di
setiap kesempatan.
Tanpa disadari, dunia pendidikan sedang menggiring anak-anak menuju
jurang kehancuran akhlak dan moral. Lantas siapa yang bertanggung jawab atas
kejadian ini? Nyatanya pihak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemendikbud), cuci tangan dan tidak merasa bersalah dengan
menyatakan bahwa pihaknya tidak dapat mengontrol materi pelajaran tersebut.
Alasannya, pengadaan buku muatan lokal LKS diselenggarakan satuan pendidikan masing-masing.
LKS diedarkan tanpa harus melewati seleksi pusat kurikulum dan buku. Sebab,
sifatnya hanya sebagai pengayaan mata pelajaran di sekolah. Apabila Kemendikbud
sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pendidikan telah lepas tangan,
pertanyaan yang muncul kemudian adalah di mana dan bilamana pendidikan di
Indonesia bisa dianggap sebagai satu sistem yang beroperasi optimal. Manakah unsur
yang mengalami malfungsi ?
Apabila malfungsi ini tidak dicermati secara seksama, bagaimana
prospek pendidikan Indonesia ke depan. Kasus di atas tidak perlu terjadi, jika
pihak terkait melakukan evaluasi awal sebelum sebuah materi ajar sampai di
tangan siswa. Terlebih untuk konsumsi anak-anak yang lebih mengangkat pesan
negatifnya ketimbang positif. Meski pengadaan buku LKS diserahkan ke satuan
pendidikan karena merupakan muatan lokal, tidak serta-merta dilepas tanpa
kendali. Harus ada pihak yang diberi tanggung jawab untuk melakukan evaluasi
awal. Pihak sekolah, Dinas Pendidikan, atau siapa? Pemerintah tidak bisa
percaya sepenuhnya terhadap kredibilitas penerbit.
Kasus paling mutakhir dan membuat banyak pihak tercengang yakni
ditemukannya buku cerita bergambar Nabi Muhammad SAW. Yang lebih mencengangkan
lagi, buku yang ditemukan di perpustakaan salah satu SD Islam di Solo tersebut
merupakan bantuan dari Kementerian Agama. Untuk kasus terakhir ini, pemerintah
tidak cukup hanya menarik dan melarang peredaran buku, namun harus bertindak
tegas dengan mengusut tuntas motif di balik pemuatan gambar sosok Rasulullah
SAW. Apa pun alasannya, membuat ilustrasi yang menggambarkan sosok Nabi
Muhammad SAW, merupakan hal yang dilarang. Patut diduga bahwa pihak penerbit
ada unsur kesengajaan. Mengingat, dalam buku itu terdapat empat gambar
ilustrasi yang semuanya dalam wujud manusia dan dipertegas dengan tulisan
Muhammad dalam huruf Arab.
Pemerintah tidak bisa menutup mata atas carut-marutnya pengadaan
buku yang terjadi selama ini. Berapa banyak oknum pejabat yang tersandung
masalah hukum akibat dari pengadaan buku ini. Sikap pembiaran ini telah
dimanfaatkan para penerbit buku untuk melakukan operasi tanpa kontrol mencari
mangsa ke sekolah-sekolah untuk menjajakan buku LKS disertai dengan iming-iming
fee besar ditambah ajakan studi tur gratis ke luar kota. Akibatnya, banyak
sekolah yang tergiur dan langsung menerima tawaran tersebut tanpa dipelajari
dulu kandungan materi LKS. Diyakini masih banyak kasus serupa yang terjadi di
berbagai sekolah. Hanya, belum sempat terungkap. Dari pengamatan penulis
terhadap cerita Si Angkri maupun istri simpanan yang diperuntukkan bagi anak
usia kelas II SD secara teknis alur cerita yang ditampilkan sama sekali tidak
mencerminkan tahapan-tahapan yang bisa dipahami anak usia delapan tahun. Tema
yang diangkat juga tidak mencerminkan pemikiran perspektif anak-anak.
Becermin dari analisis di atas menunjukkan bahwa pengarang cerita
tidak memiliki kemampuan dalam melihat tahapan-tahapan psikologis anak dan
otomatis gagal dalam menyuguhkan cerita yang memadai. Celakanya, tidak ada
narasi untuk anak yang berisi pesan moral yang bisa diteladani. Fakta ini
menunjukkan sistem pendidikan nasional yang telah ada tidak memiliki mekanisme
memadai untuk melakukan pengawasan. Padahal secara legal formal, pemerintah
tidak bisa mengelak dari tanggung jawab ini.
Masalah LKS yang menghebohkan ini hanyalah sebagian kecil dari
sekian banyak kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang tidak jelas arah
tujuannya. Wajah dunia pendidikan kita ibarat cermin yang retak. Dalam membuat
kebijakan, pemerintah terkesan serampangan sehingga menabrak berbagai aturan
sebelumnya.
Seperti
munculnya Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) beberapa waktu
lalu yang menuai kontroversi dan kegalauan masyarakat. Lalu akhirnya ditunda.
Bagaimana tidak, komersialisasi dan paham liberalisasi pendidikan pada beberapa
pasal RUU PT tersebut telah menodai hak-hak warga Indonesia untuk melanjutkan
ke pendidikan lebih tinggi. Sebab, dipastikan, menimbulkan biaya pendidikan
mahal. Ditundanya RUU PT cukup menjadi bukti bahwa pemerintah sesungguhnya
belum siap dalam mengelola pendidikan, terkesan galau dan bingung.
Padahal, UU
Sisdiknas No. 20/2003 secara terang benderang menegaskan pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara.
Artinya,
pendidikan bukan semata-mata usaha perseorangan untuk memastikan dirinya secara
individual dalam memenuhi kualitas hidup yang lebih baik. Sulit dipahami,
mengapa Kemendikbud terlalu sering menelurkan aturan yang aneh dan
membingungkan.
Saya kira
pemerintah harus mulai sadar bahwa ada bidang pendidikan harus dikendalikan
langsung pemerintah pusat. Baik regulasi maupun operasional. Hal ini sangat
penting agar dunia pendidikan terbebas dari nuansa politik dan bisnis semata.
Masing-masing pihak harus tumbuh minat secara sungguh-sungguh untuk
mengurai gulungan tali yang kusut tadi. Maka tergambar oleh kita bahwa bicara
masalah pendidikan bukanlah semata menekankan pada konteks hasil namun lebih
menekankan pada sebuah perjalanan luar biasa yang selama ini kita sebut sebagai
proses. Proses yang bernama pembiasaan, proses yang bernama pembelajaran, dan
proses yang menyimpulkan pada sebuah tantangan besar. Inilah saatnya untuk
berbuat menuju perubahan, merubah pemikiran kita semua bahwa menjadikan
pendidikan yang berkualitas kepada bangsa ini bukanlah hal yang tidak mungkin.
Setiap dari kita dapat mulai berbuat sesuai dengan peran masing-masing.
Penulis Adalah:
Pemerhati Poltik, Yang sekarang masih duduk dibangku sekolah menengah keatas,
kelas 1 MA, Pondok pesantren Darul Ihasan, Pakamban Daya, Pragaan, Sumenep,
Madura. Atas NAMA : ACH
FAWAIDI: KONTAK PERSON: 082331020242:
E-Mail fhaza_acfdie@rocketmail.com