Sabtu, 09 Februari 2013

MEMULAI PERLINDUNGAN ANAK DARI KELUARGA


MEMULAI PERLINDUNGAN ANAK DARI KELUARGA


Menurut Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dirilis November 2011 oleh UNDP-PBB menempatkan Indonesia pada urutan ke 124 dari 187 negara yang disurvei. Indonesia masuk dalam kategori negara dengan medium human development. Sedangkan Phillipina ada di urutan ke 112 dan Thailand di tangga 103. Dan kita sedih karena berada jauh dari negeri jiran Malaysia berada di urutan ke 61 termasuk katagori negara dengan high human development. Sedangkan Singapore masuk dalam katagori very high human development dengan urutan ke 26.
Tersentak rasanya kita melihat kenyataan seperti itu, ada paradoks dengan ungkapan Indonesia adalah jamrud khatulistiwa, tanah yang subur, melimpah kekayaan alamnya dan seabreg julukan yang telah menina-bobokan masyarakat tanpa diiringi kerja keras. Negara harusnya mampu mengelola potensi sumberdaya yang ada di Indonesia secara bijak untuk kesejahteraan rakyat. Sebelum adanya moratorium atau paling tidak pengurangan pengiriman TKI ke luar negeri, Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor TKI "pembantu" terbanyak ke luar negeri. Ini tentu mengusik harga diri sebagai bangsa. Apalagi tidak sedikit dari TKW kita menjadi korban tindak kekerasan yang tidak sedikit berujung dengan kematian.
Apa yang sedang dialami ibu pertiwi, sedemikian beratnya ujian yang dihadapi oleh masyarakat. Nampaknya ada penurunan derajat kualitas keluarga dalam masyakat kita. Begitu berat beban yang harus ditanggung keluarga ketika aksesibilitas terhadap hasil pembangunan masih belum merata. Kita mungkin mengetahui masih banyak bayi dan anak kekurangan gizi. Khusunya di daerah-daerah yang masih terbelakang. Demikian juga kekerasan dalam rumah tangga terutama terhadap perempuan dan anak makin meningkat. Lantas, apa yang terjadi dengan keluarga Indonesia?
Memang, beban hidup keluarga semakin berat. Muara dari ketidakberdayaan keluarga dan masyarakat Indonesia adalah kemiskinan. Hasil Pendataan Keluarga tahun 2003 menunjukkan bahwa dari sekitar 51 juta keluarga, 31 persen di antaranya masuk kategori keluarga pra-sejahtera dan keluarga sejahtera-1. Ini berarti 15,7 juta keluarga di Indonesia masih hidup dalam kondisi memprihatinkan. Bandingkan dengan keluarga sejahtera III-Plus yang hanya berjumlah 3,49 persen saja. Indikator rendahnya kualitas keluarga dapat dicermati pula berdasarkan data UNICEF yang dirilis beberapa tahun lalu, 49 persen kepala keluarga dari 51 juta keluarga yang ada, hanya tamat SD dan SLTP. Sementara untuk kelompok perempuan, sebesar 72,7 persen adalah berpendidikan SLTP ke bawah: tamat SD 31,7 persen, tak tamat SD 28,3 persen dan SLTP 11,7 persen. Kontribusi lainnya adalah perkawinan di bawah usia 20 tahun yang masih sering terjadi, yakni sekitar 14 persen.
Bila ditinjau berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 21 Tahun 1994 mengenai penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera, telah dirumuskan delapan fungsi keluarga sebagai jembatan menuju terbentuknya sumberdaya pembangunan yang handal dengan ketahanan keluarga yang kuat dan mandiri, yaitu: Pertama, Fungsi Keagamaan, dalam keluarga dan anggotanya fungsi ini perlu didorong dan dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan agamis yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, Fungsi Sosial Budaya, fungsi ini memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan, sehingga dalam hal ini diharapkan ayah dan ibu untuk dapat mengajarkan dan meneruskan tradisi, kebudayaan dan sistem nilai moral kepada anaknya. Ketiga, Fungsi Cinta Kasih, berguna untuk memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orang tua dengan anaknya serta hubungan kekerabatan antar generasi, sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin. Keempat, Fungsi Melindungi, yaitu menambahkan rasa aman dan kehangatan pada setiap anggota keluarga. Kelima, Fungsi Reproduksi, merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan takwa. Keenam, Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, yaitu memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya di masa yang akan datang. Ketujuh, Fungsi Ekonomi, sebagai unsur pendukung kemandirian dan ketahanan keluarga. Kedelapan, Fungsi Pembinaan Lingkungan, memberikan kepada setiap keluarga kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, seimbang sesuai dengan daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.
Keluarga bertanggung jawab dalam menjaga dan menumbuh kembangkan anggota-anggotanya. Pemenuhan kebutuhan para anggota sangat penting, agar mereka dapat mempertahankan kehidupannya, yang berupa 1) pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial, 2) kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal dalam rangka mengembangakan intelektual, sosial, mental, emosional dan spritual. Apabila kebutuhan dasar anggota keluarga dapat dipenuhi, maka kesempatan untuk berkembang lebih luas lagi dapat diwujudkan, yang akan memberikan kesempatan individu maupun keluarga mampu merealisasikan diri lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan mereka, misal aspek budaya, intelektual dan aspek sosial. Adapun kebutuhan manusia tersebut terbagi ke dalam 1) kebutuhan makan, minum dan seks, 2) kebutuhan akan rasa aman, 3) kebutuhan kasih sayang, 4) kebutuhan akan penghargaan dan 5) kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan potensi diri sendiri dan aktualisasi diri.
Keluarga dalam hubungannya dengan anak diidentikan sebagai tempat atau lembaga pengasuhan yang paling dapat memberi kasih sayang, kegiatan menyusui, efektif dan ekonomis. Di dalam keluargalah kali pertama anak-anak mendapat pengalaman dini langsung yang akan digunakan sebagai bekal hidupnya dikemudian hari melalui latihan fisik, sosial, mental, emosional dan spritual. Karena anak ketika baru lahir tidak memiliki tata cara dan kebiasaan (budaya) yang begitu saja terjadi sendiri secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lain, oleh karena itu harus dikondisikan ke dalam suatu hubungan kebergantungan antara anak dengan agen lain (orang tua dan anggota keluarga lain) dan lingkungan yang mendukungnya baik dalam keluarga atau lingkungan yang lebih luas (masyarakat), selain faktor genetik berperan pula. Bahkan “principle of legitimacy” adalah merupakan tugas dasar keluarga, struktur sosial (masyarakat) harus diinternalisasikan sejak individu dilahirkan agar seorang anak mengetahui dan memahami posisi dan kedudukannya, dengan harapan agar mampu menyesuaikannya dalam masyarakat kelak setelah ia dewasa. Dengan kata lain, keluarga merupakan sumber agen terpenting yang berfungsi meneruskan budaya melalui proses sosialisasi antara individu dengan lingkungan.
Ke depan dalam dunia yang mengglobal, tugas keluarga semakin berat dan kompleks. Kematangan anak-anak, sebagai generasi penerus bangsa yang dimulai dari keluarga harus benar-benar dipersiapkan. Globalisasi dengan ciri penemuan dan pemanfaatan teknologi canggih dengan cepat dan relatif terjangkau oleh banyak kalangan dalam masyarakat, menjadikan bermacam kultur dan dinamika kehidupan dari belahan bumi yang lain dapat diakses dengan cepat dan mudah. Keluarga Indonesia harus ada kesanggupan dan keberanian untuk memilih dan memilah entitas yang bermanfaat dan sesuai dengan citra budaya bangsa bercirikan relijiusitas. Peran pemerintah akan lebih dominan dan penting bagi keluarga yang secara sosial dan ekonomi tidak berdaya. Pemerintah juga harus tegas, tetap aspiratif dan demokratis dalam membuat regulasi untuk membatasi dampak negatif arus globalisasi. Keluarga Indonesia harus berani mengatakan: No free sex, no drugs!  



KETIKA PERLINDUNGAN ANAK TIDAK LAGI DIREHABILITASI





            Negeri pertiwi seakan dihebohkan dengan kasus “RI”, wanita belia yang masih berumur 11 tahun, meninggal dunia karena kasus pelecehan seksual yang menimpanya, sehingga menyebabkan dirinya harus kehilangan nyawanya. Dalam kasus ini sudah terlihat jelas kalau Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sudah jelas mengalami kepincangan. Anak yang seharusnya dijaga, dilindungi, dan diayomi harus  merasakan sebuah kepedihan dan semakinter bengkalai, dari orang tua, guru, dan elemen yang bertanggung jawab disekitarnya. Sungguh tidak etis, bahkan sangat kontraproduktif diatas pembangunan anak yang saat ini nyaring didengungkan presiden SBY diberbagai kesempatan.
            Faktanya, pihak rumah sakit RSCM tidak mau memberi tahu hasil visum dan otopsi atas gadis malang yang masih berumurbelia tersebut. Karena pihaknya menyerahkan seluruh kasusu ini kepada kepolisian yang sedang menyelidiki kasus ini sampai tuntas, tidak hanya itu, polisi juga semakin serius dalam mengungkap pelaku yang selama ini selalu menjadi misteri, sampai para keluarga dekatnya ataupun teman dipanggil pihak kepolisian untuk dimintai keterangan. Dan sampai saat ini sudah mulai mengkrucut terhadap sebagian orang yang sudah dicurigai sebagai pelaku.
            Kasus diatas tidak lebih dari sekedar lintasan salah-satu kasus yang begitu banyak di negeri ini, dalam beberapa tahun belakangan kasus mengenai kekerasan seksual terhadap anak-anak meningkat dengan sangat signifikan, dari data yang dihimpun polda Metro Jaya kemarin, dalam kurun waktu 6 bulan (Agustus 2012 – Januari 2013) telah terjadi 116 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak, kasus-kasus itu meliputi: 57 kasus perkosaan, 25 kasus pencabulan, 9 kasus disodomi, 1 kasus dibawa lari dan disetubuhi, 6 kasus dilacurkan, 9 kasus pelecehan seksual, dan 9 kasus usaha perkosaan. Data-data tersebut diatas, hanyalah data kasus yang diungkap oleh pihak kepolisian, jumlah real kasus yang tidak maupun belum diungkap bisa jadi jauh lebih besar dari data-data yang telah disebutkan.
            Hal-hal semacam inilah yang akhirnya menimbulkan kendala dalam penuntasan hukum kekerasan seksual pada anak-anak, selain itu pemerintah juga tidak memiliki kebijakan untuk melindungi korba-korban kekerasan seksual dikalangan anak-anak, sehingga para korban kekerasan seksual, banyak yang kehilangan masa depan mereka masing-masing.
            Sebenarnya ada dua katagori pengaturan hak anak dan kekerasan terhadap anak dalam CRC yakni untuk tujuan implementasi secara langsung atau “self – executing“ dan untuk tujuan tidak langsung atau ”not selfexecuting” (Pasal 27.3 CRC). Ini membuktikan bahwa aturan konvensi yang harus dilakukan oleh pihak pemerintah tidak bersifat imperatif dan baku. Kata-kata seperti “appropriate measures“ tersebut membuat pasal-pasal Konvensi tetap hidup. Hak-hak perlindungan yang dimaktubkan dalam pasal 28B (2) UUD 1945 yang telah diamandemen: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi mencerminkan kategori hak “not self – executing”. Karena itu dibutuhkan suatu tindakan legisasi/hukum tambahan untuk mengimplementasikannya, dan juga tunduk pada kemauan politik serta dukungan publik.
            Kalau disimak pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, yang mana ada kesamaan arti dan tujuan dengan Artikel 27 Konvensi (CRC), maka kedua pasal tersebut merujuk pada isu anak yang jauh lebih luas. Pada kenyataannya, pasal-pasal tersebut menyentuh isu yang berada di luar survival. Memasuki bidang di luar survival merupakan suatu tugas yang berat. Sama halnya dengan memasuki suatu ladang ranjau moral dan penilaian sosial, suatu bidang yang tidak jelas definisi, konsep ideologi yang berbeda-beda.
            Kelangsungan pembangunan kualitas pelaksanaan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak sangat tergantung pada pemahaman akan situasi anak secara berkelanjutan. KHA secara tegas menugaskan negara peserta untuk membangun dan mengembangkan sistem dan mekanisme pemantauan dan evaluasi terhadap situasi pemenuhan hak-hak anak. Namun, permasalahan anak di negeri ini adalah yang tersebar dari beberapa negara di Asia tenggara lainnya, mustahil membebankan sepenuhnya tanggungjawab tersebut kepada kemampuan pemerintah. Dibutuhkan penglibatan pihak-pihak lain secara terkoordinir secara intensif dan contiue melakukan upaya-upaya pemenuhan, penegakan dan perlindungan hak-hak anak.
            Perlindungan hak-hak anak, harus selalu ditegaskan dinegeri ini, terlebih setelah para korban mengalami dampak psikologis pemerkosaan yang sanagt luar biasa, memang kasus mengenai pemerkoasaan harus dijadikan paling mutahir tentang hak-hak dan perlindungan anak, korban pemerkosaan akan megalami trauma yang berkepanjangaan mulai terjadinya pemerkosaan sampai dewasa, bahkan samapai korban meninggal. Hukuman maksimal bagi para pemerkosa menurut KUHP maksilam 12 tahun, tidak sebanding dengan derita korban. Bahkan tidakjarang para korban pemerkosaan bunuh diri karena tidak kuat menghadapi rasa maliu dan stigma yang melekat pada dirinya.
            Tidak heran di India baru-baru ini muncul kemarahan nasional ketika kasus-kasus pemerkosaan tidak ditangani secara profesional oleh aparat.
            Untuk melindungi dan memberikan rasa nyaman terhadap masyarakat, hukuman mati sangat pantas dibeikan kepada pelaku pemerkosaan, terutama pemerkosaan terhadap korban dibawah umur. Dengan hukuman itu maka secara otomatis dapat memberikan efek jera bagi calon pemerkosa. Dengan demikian, orang orang tidak lagi coba-coba dengan demikian orang tidak lagi meremehkan penderitaan korban kekerasan seksual khususnya terhadap anak-anak *