Sabtu, 09 Februari 2013

KETIKA PERLINDUNGAN ANAK TIDAK LAGI DIREHABILITASI





            Negeri pertiwi seakan dihebohkan dengan kasus “RI”, wanita belia yang masih berumur 11 tahun, meninggal dunia karena kasus pelecehan seksual yang menimpanya, sehingga menyebabkan dirinya harus kehilangan nyawanya. Dalam kasus ini sudah terlihat jelas kalau Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sudah jelas mengalami kepincangan. Anak yang seharusnya dijaga, dilindungi, dan diayomi harus  merasakan sebuah kepedihan dan semakinter bengkalai, dari orang tua, guru, dan elemen yang bertanggung jawab disekitarnya. Sungguh tidak etis, bahkan sangat kontraproduktif diatas pembangunan anak yang saat ini nyaring didengungkan presiden SBY diberbagai kesempatan.
            Faktanya, pihak rumah sakit RSCM tidak mau memberi tahu hasil visum dan otopsi atas gadis malang yang masih berumurbelia tersebut. Karena pihaknya menyerahkan seluruh kasusu ini kepada kepolisian yang sedang menyelidiki kasus ini sampai tuntas, tidak hanya itu, polisi juga semakin serius dalam mengungkap pelaku yang selama ini selalu menjadi misteri, sampai para keluarga dekatnya ataupun teman dipanggil pihak kepolisian untuk dimintai keterangan. Dan sampai saat ini sudah mulai mengkrucut terhadap sebagian orang yang sudah dicurigai sebagai pelaku.
            Kasus diatas tidak lebih dari sekedar lintasan salah-satu kasus yang begitu banyak di negeri ini, dalam beberapa tahun belakangan kasus mengenai kekerasan seksual terhadap anak-anak meningkat dengan sangat signifikan, dari data yang dihimpun polda Metro Jaya kemarin, dalam kurun waktu 6 bulan (Agustus 2012 – Januari 2013) telah terjadi 116 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak, kasus-kasus itu meliputi: 57 kasus perkosaan, 25 kasus pencabulan, 9 kasus disodomi, 1 kasus dibawa lari dan disetubuhi, 6 kasus dilacurkan, 9 kasus pelecehan seksual, dan 9 kasus usaha perkosaan. Data-data tersebut diatas, hanyalah data kasus yang diungkap oleh pihak kepolisian, jumlah real kasus yang tidak maupun belum diungkap bisa jadi jauh lebih besar dari data-data yang telah disebutkan.
            Hal-hal semacam inilah yang akhirnya menimbulkan kendala dalam penuntasan hukum kekerasan seksual pada anak-anak, selain itu pemerintah juga tidak memiliki kebijakan untuk melindungi korba-korban kekerasan seksual dikalangan anak-anak, sehingga para korban kekerasan seksual, banyak yang kehilangan masa depan mereka masing-masing.
            Sebenarnya ada dua katagori pengaturan hak anak dan kekerasan terhadap anak dalam CRC yakni untuk tujuan implementasi secara langsung atau “self – executing“ dan untuk tujuan tidak langsung atau ”not selfexecuting” (Pasal 27.3 CRC). Ini membuktikan bahwa aturan konvensi yang harus dilakukan oleh pihak pemerintah tidak bersifat imperatif dan baku. Kata-kata seperti “appropriate measures“ tersebut membuat pasal-pasal Konvensi tetap hidup. Hak-hak perlindungan yang dimaktubkan dalam pasal 28B (2) UUD 1945 yang telah diamandemen: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi mencerminkan kategori hak “not self – executing”. Karena itu dibutuhkan suatu tindakan legisasi/hukum tambahan untuk mengimplementasikannya, dan juga tunduk pada kemauan politik serta dukungan publik.
            Kalau disimak pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, yang mana ada kesamaan arti dan tujuan dengan Artikel 27 Konvensi (CRC), maka kedua pasal tersebut merujuk pada isu anak yang jauh lebih luas. Pada kenyataannya, pasal-pasal tersebut menyentuh isu yang berada di luar survival. Memasuki bidang di luar survival merupakan suatu tugas yang berat. Sama halnya dengan memasuki suatu ladang ranjau moral dan penilaian sosial, suatu bidang yang tidak jelas definisi, konsep ideologi yang berbeda-beda.
            Kelangsungan pembangunan kualitas pelaksanaan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak sangat tergantung pada pemahaman akan situasi anak secara berkelanjutan. KHA secara tegas menugaskan negara peserta untuk membangun dan mengembangkan sistem dan mekanisme pemantauan dan evaluasi terhadap situasi pemenuhan hak-hak anak. Namun, permasalahan anak di negeri ini adalah yang tersebar dari beberapa negara di Asia tenggara lainnya, mustahil membebankan sepenuhnya tanggungjawab tersebut kepada kemampuan pemerintah. Dibutuhkan penglibatan pihak-pihak lain secara terkoordinir secara intensif dan contiue melakukan upaya-upaya pemenuhan, penegakan dan perlindungan hak-hak anak.
            Perlindungan hak-hak anak, harus selalu ditegaskan dinegeri ini, terlebih setelah para korban mengalami dampak psikologis pemerkosaan yang sanagt luar biasa, memang kasus mengenai pemerkoasaan harus dijadikan paling mutahir tentang hak-hak dan perlindungan anak, korban pemerkosaan akan megalami trauma yang berkepanjangaan mulai terjadinya pemerkosaan sampai dewasa, bahkan samapai korban meninggal. Hukuman maksimal bagi para pemerkosa menurut KUHP maksilam 12 tahun, tidak sebanding dengan derita korban. Bahkan tidakjarang para korban pemerkosaan bunuh diri karena tidak kuat menghadapi rasa maliu dan stigma yang melekat pada dirinya.
            Tidak heran di India baru-baru ini muncul kemarahan nasional ketika kasus-kasus pemerkosaan tidak ditangani secara profesional oleh aparat.
            Untuk melindungi dan memberikan rasa nyaman terhadap masyarakat, hukuman mati sangat pantas dibeikan kepada pelaku pemerkosaan, terutama pemerkosaan terhadap korban dibawah umur. Dengan hukuman itu maka secara otomatis dapat memberikan efek jera bagi calon pemerkosa. Dengan demikian, orang orang tidak lagi coba-coba dengan demikian orang tidak lagi meremehkan penderitaan korban kekerasan seksual khususnya terhadap anak-anak *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar