Negeri pertiwi seakan dihebohkan dengan kasus “RI”, wanita belia yang masih
berumur 11 tahun, meninggal dunia karena kasus pelecehan seksual yang
menimpanya, sehingga menyebabkan dirinya harus kehilangan nyawanya. Dalam kasus ini sudah terlihat jelas kalau Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) sudah jelas mengalami kepincangan. Anak yang
seharusnya dijaga, dilindungi, dan diayomi harus merasakan sebuah kepedihan dan semakinter
bengkalai, dari orang tua, guru, dan elemen yang bertanggung jawab
disekitarnya. Sungguh tidak etis, bahkan sangat kontraproduktif diatas
pembangunan anak yang saat ini nyaring didengungkan presiden SBY diberbagai
kesempatan.
Faktanya, pihak rumah sakit RSCM
tidak mau memberi tahu hasil visum dan otopsi atas gadis malang yang masih
berumurbelia tersebut. Karena pihaknya menyerahkan seluruh kasusu ini kepada
kepolisian yang sedang menyelidiki kasus ini sampai tuntas, tidak hanya itu,
polisi juga semakin serius dalam mengungkap pelaku yang selama ini selalu
menjadi misteri, sampai para keluarga dekatnya ataupun teman dipanggil pihak
kepolisian untuk dimintai keterangan. Dan sampai saat ini sudah mulai mengkrucut
terhadap sebagian orang yang sudah dicurigai sebagai pelaku.
Kasus diatas tidak lebih dari
sekedar lintasan salah-satu kasus yang begitu banyak di negeri ini, dalam
beberapa tahun belakangan kasus mengenai kekerasan seksual terhadap anak-anak
meningkat dengan sangat signifikan, dari data yang dihimpun polda Metro Jaya
kemarin, dalam kurun waktu 6 bulan (Agustus 2012 – Januari 2013) telah terjadi
116 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak, kasus-kasus itu meliputi: 57
kasus perkosaan, 25 kasus pencabulan, 9 kasus disodomi, 1 kasus dibawa lari dan
disetubuhi, 6 kasus dilacurkan, 9 kasus pelecehan seksual, dan 9 kasus usaha
perkosaan. Data-data tersebut diatas, hanyalah data kasus yang diungkap oleh
pihak kepolisian, jumlah real kasus yang tidak maupun belum diungkap bisa jadi
jauh lebih besar dari data-data yang telah disebutkan.
Hal-hal semacam inilah yang akhirnya
menimbulkan kendala dalam penuntasan hukum kekerasan seksual pada anak-anak,
selain itu pemerintah juga tidak memiliki kebijakan untuk melindungi
korba-korban kekerasan seksual dikalangan anak-anak, sehingga para korban
kekerasan seksual, banyak yang kehilangan masa depan mereka masing-masing.
Sebenarnya ada dua katagori
pengaturan hak anak dan kekerasan terhadap anak dalam CRC yakni untuk tujuan
implementasi secara langsung atau “self – executing“ dan untuk tujuan tidak
langsung atau ”not selfexecuting” (Pasal 27.3 CRC). Ini membuktikan bahwa
aturan konvensi yang harus dilakukan oleh pihak pemerintah tidak bersifat
imperatif dan baku. Kata-kata seperti “appropriate measures“ tersebut membuat
pasal-pasal Konvensi tetap hidup. Hak-hak perlindungan yang dimaktubkan dalam
pasal 28B (2) UUD 1945 yang telah diamandemen: “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi mencerminkan kategori hak “not self – executing”.
Karena itu dibutuhkan suatu tindakan legisasi/hukum tambahan untuk
mengimplementasikannya, dan juga tunduk pada kemauan politik serta dukungan
publik.
Kalau disimak pasal 3 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, yang mana ada
kesamaan arti dan tujuan dengan Artikel 27 Konvensi (CRC), maka kedua pasal
tersebut merujuk pada isu anak yang jauh lebih luas. Pada kenyataannya,
pasal-pasal tersebut menyentuh isu yang berada di luar survival. Memasuki
bidang di luar survival merupakan suatu tugas yang berat. Sama halnya dengan
memasuki suatu ladang ranjau moral dan penilaian sosial, suatu bidang yang
tidak jelas definisi, konsep ideologi yang berbeda-beda.
Kelangsungan pembangunan kualitas
pelaksanaan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak sangat tergantung pada
pemahaman akan situasi anak secara berkelanjutan. KHA secara tegas menugaskan
negara peserta untuk membangun dan mengembangkan sistem dan mekanisme
pemantauan dan evaluasi terhadap situasi pemenuhan hak-hak anak. Namun,
permasalahan anak di negeri ini adalah yang tersebar dari beberapa negara di
Asia tenggara lainnya, mustahil membebankan sepenuhnya tanggungjawab tersebut
kepada kemampuan pemerintah. Dibutuhkan penglibatan pihak-pihak lain secara
terkoordinir secara intensif dan contiue melakukan upaya-upaya pemenuhan,
penegakan dan perlindungan hak-hak anak.
Perlindungan hak-hak anak, harus
selalu ditegaskan dinegeri ini, terlebih setelah para korban mengalami dampak
psikologis pemerkosaan yang sanagt luar biasa, memang kasus mengenai
pemerkoasaan harus dijadikan paling mutahir tentang hak-hak dan perlindungan
anak, korban pemerkosaan akan megalami trauma yang berkepanjangaan mulai
terjadinya pemerkosaan sampai dewasa, bahkan samapai korban meninggal. Hukuman
maksimal bagi para pemerkosa menurut KUHP maksilam 12 tahun, tidak sebanding
dengan derita korban. Bahkan tidakjarang para korban pemerkosaan bunuh diri
karena tidak kuat menghadapi rasa maliu dan stigma yang melekat pada dirinya.
Tidak heran di India baru-baru ini
muncul kemarahan nasional ketika kasus-kasus pemerkosaan tidak ditangani secara
profesional oleh aparat.
Untuk melindungi dan memberikan rasa
nyaman terhadap masyarakat, hukuman mati sangat pantas dibeikan kepada pelaku
pemerkosaan, terutama pemerkosaan terhadap korban dibawah umur. Dengan hukuman
itu maka secara otomatis dapat memberikan efek jera bagi calon pemerkosa.
Dengan demikian, orang orang tidak lagi coba-coba dengan demikian orang tidak
lagi meremehkan penderitaan korban kekerasan seksual khususnya terhadap
anak-anak *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar