Rabu, 28 November 2012


PEMERINTAH GALAU
PENDIDIKAN TERBENGKALAI

(Mencoba menyiasati kinerja pemerintah dalam bidang pendidikan di negeri pertiwi)

Beberapa waktu lalu, dunia pendidikan kita dihebohkan dengan ditemukannya lembar kerja siswa (LKS) untuk murid kelas II sekolah dasar (SD) yang memuat cerita Si Angkri. Dalam waktu hampir bersamaan, ditemukan kembali LKS bermasalah yang memuat cerita istri simpanan di bawah judul “Bang Maman dari Kalipasir” yang beredar di SD Angkasa Halim IX, Jakarta Timur. Bayangkan, anak-anak usia 8 tahunan sudah dikenalkan dengan golok sebagai simbol kekerasan dan seks. Sungguh tidak etis. Bahkan, sangat kontraproduktif dalam pembangunan karakter anak-anak didik yang saat ini nyaring didengungkan Presiden SBY di setiap kesempatan.
Tanpa disadari, dunia pendidikan sedang menggiring anak-anak menuju jurang kehancuran akhlak dan moral. Lantas siapa yang bertanggung jawab atas kejadian ini? Nyatanya pihak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), cuci tangan dan tidak merasa bersalah dengan menyatakan bahwa pihaknya tidak dapat mengontrol materi pelajaran tersebut. Alasannya, pengadaan buku muatan lokal LKS diselenggarakan satuan pendidikan masing-masing. LKS diedarkan tanpa harus melewati seleksi pusat kurikulum dan buku. Sebab, sifatnya hanya sebagai pengayaan mata pelajaran di sekolah. Apabila Kemendikbud sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pendidikan telah lepas tangan, pertanyaan yang muncul kemudian adalah di mana dan bilamana pendidikan di Indonesia bisa dianggap sebagai satu sistem yang beroperasi optimal. Manakah unsur yang mengalami malfungsi ?
Apabila malfungsi ini tidak dicermati secara seksama, bagaimana prospek pendidikan Indonesia ke depan. Kasus di atas tidak perlu terjadi, jika pihak terkait melakukan evaluasi awal sebelum sebuah materi ajar sampai di tangan siswa. Terlebih untuk konsumsi anak-anak yang lebih mengangkat pesan negatifnya ketimbang positif. Meski pengadaan buku LKS diserahkan ke satuan pendidikan karena merupakan muatan lokal, tidak serta-merta dilepas tanpa kendali. Harus ada pihak yang diberi tanggung jawab untuk melakukan evaluasi awal. Pihak sekolah, Dinas Pendidikan, atau siapa? Pemerintah tidak bisa percaya sepenuhnya terhadap kredibilitas penerbit.
Kasus paling mutakhir dan membuat banyak pihak tercengang yakni ditemukannya buku cerita bergambar Nabi Muhammad SAW. Yang lebih mencengangkan lagi, buku yang ditemukan di perpustakaan salah satu SD Islam di Solo tersebut merupakan bantuan dari Kementerian Agama. Untuk kasus terakhir ini, pemerintah tidak cukup hanya menarik dan melarang peredaran buku, namun harus bertindak tegas dengan mengusut tuntas motif di balik pemuatan gambar sosok Rasulullah SAW. Apa pun alasannya, membuat ilustrasi yang menggambarkan sosok Nabi Muhammad SAW, merupakan hal yang dilarang. Patut diduga bahwa pihak penerbit ada unsur kesengajaan. Mengingat, dalam buku itu terdapat empat gambar ilustrasi yang semuanya dalam wujud manusia dan dipertegas dengan tulisan Muhammad dalam huruf Arab.
Pemerintah tidak bisa menutup mata atas carut-marutnya pengadaan buku yang terjadi selama ini. Berapa banyak oknum pejabat yang tersandung masalah hukum akibat dari pengadaan buku ini. Sikap pembiaran ini telah dimanfaatkan para penerbit buku untuk melakukan operasi tanpa kontrol mencari mangsa ke sekolah-sekolah untuk menjajakan buku LKS disertai dengan iming-iming fee besar ditambah ajakan studi tur gratis ke luar kota. Akibatnya, banyak sekolah yang tergiur dan langsung menerima tawaran tersebut tanpa dipelajari dulu kandungan materi LKS. Diyakini masih banyak kasus serupa yang terjadi di berbagai sekolah. Hanya, belum sempat terungkap. Dari pengamatan penulis terhadap cerita Si Angkri maupun istri simpanan yang diperuntukkan bagi anak usia kelas II SD secara teknis alur cerita yang ditampilkan sama sekali tidak mencerminkan tahapan-tahapan yang bisa dipahami anak usia delapan tahun. Tema yang diangkat juga tidak mencerminkan pemikiran perspektif anak-anak.
Becermin dari analisis di atas menunjukkan bahwa pengarang cerita tidak memiliki kemampuan dalam melihat tahapan-tahapan psikologis anak dan otomatis gagal dalam menyuguhkan cerita yang memadai. Celakanya, tidak ada narasi untuk anak yang berisi pesan moral yang bisa diteladani. Fakta ini menunjukkan sistem pendidikan nasional yang telah ada tidak memiliki mekanisme memadai untuk melakukan pengawasan. Padahal secara legal formal, pemerintah tidak bisa mengelak dari tanggung jawab ini.
Masalah LKS yang menghebohkan ini hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang tidak jelas arah tujuannya. Wajah dunia pendidikan kita ibarat cermin yang retak. Dalam membuat kebijakan, pemerintah terkesan serampangan sehingga menabrak berbagai aturan sebelumnya.
            Seperti munculnya Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) beberapa waktu lalu yang menuai kontroversi dan kegalauan masyarakat. Lalu akhirnya ditunda. Bagaimana tidak, komersialisasi dan paham liberalisasi pendidikan pada beberapa pasal RUU PT tersebut telah menodai hak-hak warga Indonesia untuk melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi. Sebab, dipastikan, menimbulkan biaya pendidikan mahal. Ditundanya RUU PT cukup menjadi bukti bahwa pemerintah sesungguhnya belum siap dalam mengelola pendidikan, terkesan galau dan bingung.
Padahal, UU Sisdiknas No. 20/2003 secara terang benderang menegaskan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Artinya, pendidikan bukan semata-mata usaha perseorangan untuk memastikan dirinya secara individual dalam memenuhi kualitas hidup yang lebih baik. Sulit dipahami, mengapa Kemendikbud terlalu sering menelurkan aturan yang aneh dan membingungkan.
Saya kira pemerintah harus mulai sadar bahwa ada bidang pendidikan harus dikendalikan langsung pemerintah pusat. Baik regulasi maupun operasional. Hal ini sangat penting agar dunia pendidikan terbebas dari nuansa politik dan bisnis semata.
Masing-masing pihak harus tumbuh minat secara sungguh-sungguh untuk mengurai gulungan tali yang kusut tadi. Maka tergambar oleh kita bahwa bicara masalah pendidikan bukanlah semata menekankan pada konteks hasil namun lebih menekankan pada sebuah perjalanan luar biasa yang selama ini kita sebut sebagai proses. Proses yang bernama pembiasaan, proses yang bernama pembelajaran, dan proses yang menyimpulkan pada sebuah tantangan besar. Inilah saatnya untuk berbuat menuju perubahan, merubah pemikiran kita semua bahwa menjadikan pendidikan yang berkualitas kepada bangsa ini bukanlah hal yang tidak mungkin. Setiap dari kita dapat mulai berbuat sesuai dengan peran masing-masing.





Penulis Adalah: Pemerhati Poltik, Yang sekarang masih duduk dibangku sekolah menengah keatas, kelas 1 MA, Pondok pesantren Darul Ihasan, Pakamban Daya, Pragaan, Sumenep, Madura. Atas NAMA :           ACH FAWAIDI:  KONTAK PERSON: 082331020242: E-Mail fhaza_acfdie@rocketmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar